Kapitalisme Dalam Konteks Kemiskinan Agraria Di Indonesia

Kapitalisme Dalam Konteks Kemiskinan Agraria Di Indonesia

Latar Belakang

Masalah agraria dimulai dari ketimpangan struktur penguasaan tanah yang sangat menonjol. Struktur penguasaan dalam hal ini adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal), maupun penguasaan efektif (garapan/operasional) atas sumber-sumber agraria; juga sebaran alokasi atau peruntukannya. Ketimpangan peruntukan dan penggunaan tanah meliputi masalah perubahan fungsi tanah yang berkembang dengan sangat cepat, sebagai akibat dari pembangunan yang bersifat sektoral. Masalah alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian berlangsung dengan kecepatan yang sangat tinggi. Modernisasi yang hampir selalu ditandai dengan pembangunan infrastruktur-infrastuktur pendukungnya, menyebabkan semakin tergusurnya area-area persawahan di Indonesia. Dalam hal ini, petani adalah pihak yang paling menanggung akibat dari “modernisasi” tersebut. Tanah sudah menjadi barang komoditas yang menguntungkan para pemilik modal.

Saat ini tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, menggingat jumlah penduduk yang semanagkin padat menjadikan kebutuhan akan lahan juga semanangkin meningkat. Semangkin luas tanah yang dimiliki oleh seseorang maka akan semangkin tinggi kedudukan status sosialnya di masyarakat, selain itu tahan juga menjanjikan investasi yang menjanjikan, dimana dalam kurun waktu tertentu harga tanah dapat melambung tinggi sesuai dengan keserategisan letak apalagi pada kota kota besar. Hal ini lah yang menjadikan tingginya minat masyarakat terhadap tanah.

Problematika pertanahan di Indonesia mengalami masa-masa yang kritis saat ini sangat banyak terjadi kasus persengketaan tanah di negri ini yang semangkin ramai. Mulai dari permasalahan kepentingan antar individu (warisan), permasalahan hak tanah adat ( hak ulayat), hingga penyerobotan lahan dan penggarapan.

Indonesia yang sejak masa pemerintahan Hindia Belanda dikenal dengan wilayah agraris, memaksa para aparatur negara dari periode ke periode untuk menetapkan kebijakan tentang masalah-masalah agraria. Melihat kilas balik kebelakang Perlu diketahui, bahwa pemerintah kolonial Belanda telah menyadari betul, bahwa jauh sebelum kedatangannya ke Indonesia, di Indonesia sendiri telah berlaku hukum adat yang diyakni sebagai hukum dasar termasuk pengaturan di bidang pertanahan. Oleh karena itulah maka pemerintah Hindia Belanda kemudian memberlakukan politik hukum pertanahannya dengan tetap memberlakukan hukum adat beriringan dengan hukum pertanahan Belanda. Seiring dengan periode pergantian rezim pemerintahan, terjadi pula tumpang tindih hukum dan kebijakan agraria di Indonesia. Pada masa kolonial terjadi dualisme hukum yang cukup membingungkan, yaitu kebijakan pemerintah yang menerapkan aturan tentang tanah dibawah Undang-undang Agraria 1870, sementara disisi lain hukum adat yang terdapat pada setiap daerah di koloni Hindia Belanda juga memiliki kebijakan sendiri mengenai hukum adat yang berhubungan dengan sistem pertanahan lokal. Pada masa Orde Baru terjadi perubahan orientasi kebijakan yang merupakan salah satu tujuan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. UUPA 1960 bertujuan membangun kesatuan hukum nasional dibidang agraria untuk menghilangkan “dualisme hukum” yang diwariskan pemerintah kolonial.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana kapitalisme sebelum UUPA?
2. Apa pengaruh UUPA terhadap kapitalisme?
3. Bagaimana dampak yang di timbulkan kapitalisme terhadap masyarakat tani?

Pembahasan

Kapitalisme sebelum UUPA

Dalam pasal 5 UUPA jelas-jelas menyatakan bahwa pengaturan hukum pertanahan berdasarkan pada hukum adat, namun ditegaskan bahwa hukum adat itu adalah hukum adat yang telah di saneering (mengalami pemurnian, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional). Ide dasar politik pertanahan RI sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat”. Dengan demikian, politik pertanahan lebih diarahkan pada bagaimana melakukan unifikasi norma-norma hukum adat untuk membangun sistem hukum pertanahan yang dikehendaki.

Namun, perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan hal yang berbeda. Munculnya konflik pertanahan antara masyarakat dengan pemerintah adalah wujud kegagalan pemerintah dalam mengembangkan basis kebijakan di bidang pertanahan. Berkali-kali upaya membangun hukum pertanahan yang komprehensif namun belum juga membuahkan hasil. Meskipun diakui bahwa UUPA mengandung banyak problem, namun peraturan baru yang diharapkan menutup kelemahan UUPA tersebut belum juga terwujud

Dengan melihat kebelakang pada Revolusi Industri di Inggris abad ke 16 yang dampaknya meluas keseluruh Eropa ditandai dengan mekanisasi disegala bidang. Perkembangan industry-industri manufaktur dalam skala besar dan luas membutuhkan banyak pasokan bahan mentah agar kegiatan perekonomian terus berkembang. Kebutuhan akan permintaan buruh diparik-pabrik dan perusahaan-perusahaan juga meningkat pesat. Asia adalah pasaran yang empuk untuk mendapatkan bahan mentah untuk industri sekaligus tenaga buruh murah. Pada tahap selanjutnya produksi barang dipasaran Eropa setelah Revolusi Industri telah berhasil menguasai pasaran dunia. Ekspansi dagang dengan orientasi ekspor semakin menguntungkan Negara-negara Eropa dan sekaligus mematikan perekonomian negeri-negeri jajahan mereka.

Kapitalisme asing yang memasuki sendi-sendi perekonomian rakyat, semakin tumbuh subur karena didukung oleh struktur kekuasaan lokal yang sangat diuntungkan oleh monopoli politik dan ekonomi Belanda. Stratifikasi social dalam tradisi masyarakat feudal menjadikan politik eksploitasi terus berlangsung sepanjang masa karena didukung oleh kekuasaan, disinilah titik kelemahan dari pola hubungan patron-klien. Kelas-kelas borjuis baru mulai bermunculan sebagai tangan panjang dari sistem kolonialisme yang dikendalikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penguasaan tanah menjadi tidak seimbang karena kekuasaan dari system merkantilisme dari monopoli pasar. Perusahaan, elit-elit pemerintah ataupun kaum borjuis dapat membeli tanah menurut ‘standar’ kemampuan mereka dengan penetapan harga sekehendak mereka.

Proyek kapitalisme besar-besaran dan berlangsung dalam skala luas yang mengawali perubahan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, yang dikendalikan oleh sistem korporasi adalah Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Sistem ini diperkenalkan secara perlahan antara tahun 1830 dan 1835 disebagian daerah di pulau Jawa. Dampak dari diperkenalkannya Sistem Tanam Paksa dapat dirangkum sebagai berikut :

1. Produksi tanaman perdagangan untuk pasar Eropa meningkat luar biasa. Produksi padi dan tanaman perdagangan untuk pasar local mengalami stagnasi.

2. Meningkatnya tekanan atas tanah, tetapi tekanan atas tenaga kerja yang merupakan ciri paling penting dari system ini.

3. Permintaan yang meningkat akan tenaga kerja ini tidak hanya merupakan akibat dari system baru berupa kerja paksa, tetapi juga akibat meningkatnya ketergantungan pada kerja kuli untuk membangun jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan, benteng, gedung, dan pabrik, serta permintaan akan transportasi dan tenaga kerja dibidang industri. Prasarana yang lebih baik merupakan salah satu dampak sampingan ini.

4. Monetarisasi yang semakin meningkat di Jawa.

5. Kedudukan para bupati dinaikkan bersamaan dengan penerimaan mereka terhadap budidaya dan peran baru mereka sebagai pengawas tanaman yang diwajibkan dalam Sistem Tanam Paksa.

6. Kepala desa kini diawasi lebih ketat, terutama oleh pengumpul pajak dari pihak Belanda. Keadaan ekonomi pengumpul pajak ini mengalami perbaikan karena ia juga mendapat bagian dari barang rampasan itu (persentase budi daya).

7. Perubahan pemilikan tanah pribumi secara turun temurun tetap berjalan.

Pembukaan lahan-lahan baru pada masa kolonialisme pada abad ke 20 yang berorientasi pada komoditas perkebunan di Luar Jawa terutama, secara otomatis merampas kepemilikan tanah oleh penduduk pribumi. Hukum adat yang lahir dalam masyarakat pribumi tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan eksistensi tanah mereka dari pencaplokan perusahaan asing.

Kemiskinan adalah ciri dari masyarakat agraris di Indonesia akibat benang kusut masalah agraria sepanjang sejarah pertanahan. Kemiskinan tersebut juga ditopang oleh dua hal yaitu: kemiskinan kultural yang terdapat dalam masyarakat agraris sebagaimana ditulis oleh Geertz dalam ‘Involusi Pertanian’, dan kemiskinan struktural akibat dari pola kebijakan penguasa yang salah urus. Sector pertanian yang merupakan mata pencahariaan utama sebagian besar rakyat Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tenaga kerja atau buruh tani yang tidak bertanah justru menempati posisi teratas dalam skala jumlah dibandingkan dengan petani-petani yang memiliki sawah. Mereka mengandalkan kehidupan pada sector pertanian ditambah lagi dengan mencari penghasilan tambahan dengan berbagai bidang kerja. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian yang berbasis di pedesaan belum bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan utama bagi masyarakatnya. Kenyataan ini sangat ironis dengan slogan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri ‘gemah ripah loh jinawi’, ‘tongkat ditanam jadi pohon’ yang ditanam dalam pikiran anak-anak sekolah sejak duduk dibangku sekolah dasar.

Lahirnya undang undang no 5 Tahun 1960 tentang pokok agraria (UUPA) pada tanggal 24 september 1960. Dengan adanya UU ini, menghapus kebijakan sistem pertanahan pada zaman kolonial belanda (Agrarische Wet/1870) dengan prinsip Domein Verklaring atau dikenal dengan semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikanya berdassarkan hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai milik negara/belanda.

UUPA merupakan produk undang-undang pada masa pemerintahan orde lama, kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih condrong kepada mewujudkan kesejahteraan rakyat, khususnya pada bidang pertanahan yang menganut asas nasionalitas tertuang dalam pasal 9 ayat (1) UUPA yang berbunyi “ hanya warga negara indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan Bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batasan pasal 1 dan 2 yang memiliki makna hanya warga negara indonesia asli yang dapat mempunyai hak milik untuk menguasai/memiliki tanah, sedangkan untuk warga negara asing tidak.

Kapitalisme Setelah UUPA

Sektor perekonomian dipedesaan, dan khususnya sektor pertanian, justru mengalami ‘situasi krisis’ yang ditandai dengan merebaknya angka kemiskinan dan pengangguran. Terjadinya krisis dipedesaan ini pada gilirannya menyebabkan meledaknya urbanisasi karena petani gurem dan buruh tani tuna kisma tersingkir dari desanya, dan tertarik oleh sektor non-pertanian dikota yang akan memberikan pendapatan lebih tinggi. Hal ini adalah sebuah fenomena yang sangat ironis karena sektor agraria yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat di Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan bagi para petani sebagai pengolah tanah.

Globalisasi yang menciptakan pasar bebas akan semakin menambah kesenjangan antara pemilik modal yang didukung oleh pemerintah dan petani yang tidak memiliki kekuatan apapun dalah struktur lembaga pemerintahan. Dengan masuknya beras import, salah satu contoh kasusnya, menjadikan harga beras domestik semakin merosot tajam. Disinilah petani kembali dirugikan akibat tidak adanya proteksi kebijakan dari pemerintah, karena tidak seimbangnya biaya operasional yang harus dikeluarkan petani dalam pengelolaan sawah dengan hasil yang didapatkan setelah panen. Industrialisasi yang ditandai dengan pembangunan infrastruktur perekonomian semakin menggeser lahan-lahan pertanian yang semula eksis.

Merebaknya industri dikota-kota besar sebagai pasar modal menjanjikan lapangan pekerjaan bagi para generasi muda didesa-desa. Pekerjaan sebagai petani penggarap sawah yang sudah menjadi budaya masyarakat agraris selama berabad-abad semakin kehilangan pamornya, disamping tidak menjanjikan keuntungan finansial yang signifikan. Seseorang yang memiliki sawah dan menghabiskan seumur hidupnya untuk mengolah sawahnya, tidak mengalami perubahan nasib yang signifikan dihari tuanya.

Pertumbuhan kapitalisme di Indonesia yang menggeser peran masyarakat agraris semakin diperkuat oleh kebangkitan rezim Orde Baru (1965-1998). Percepatan pembangunan dengan progam-progam repelita hanyalah slogan-slogan yang menunjukkan kekeroposan ekonomi mikro. Ketergantungan kepada pemodal asing dimulai dengan perjanjian kerjasama dengan IMF. Bentuk kapitalisme pribumi pada masa Orde Baru dapat dibedakan menjadi tiga kategori sebagai berikut :

1.Periode para pendiri Ekonomi Benteng

2.Politik birokrasi Orde Baru dengan mendirikan kelompok bisnis pribadi

3.Kapitalisme baru yang memunculkan hubungan patronasi dengan pusat kekuasaan baru yang menguatkan birokrasi politik.

Alasan ekonomi menjadi dorongan kuat bagi penduduk desa untuk berbondong-bondong kekota dalam rangka memperoleh pekerjaan. Akibatnya lahan-lahan pertanian/ persawahan didesa-desa menjadi terbengkalai karena pekerjaan sebagai petani tidak menjanjikan apa-apa bagi masa depan perekonomian penduduk. Ancaman krisis bisa saja terjadi bila kemudian masyarakat desa berbondong-berbondong pindah kekota untuk mencari kerja. Akibatnya akan timbul masalah baru, yakni konflik horizontal antar kelas. Masyarakat miskin pedesaan yang kini sudah pindah ke kota kemudian bersatu dengan masyarakat miskin kota melawan masyarakat elit yang kaya.Pola pikir pragmatis masyarakat akibat tumbuhnya budaya ‘modernitas’ adalah gejala paling mengkhawatirkan, yang ditandai dengan penjualan tanah-tanah persawahan mereka kepada para pemilik modal. Konsep lama khususnya dikalangan masyarakat Jawa yang telah diwariskan secara turun temurun, sedhumuk bathuk senyari bumi sudah hampir dilupakan karena motif-motif ekonomi.

Di sinilah timbul permasalahnya dalam pembangunan ini tidak tertutup kemungkinan adanya hubungan Simbiosis Mutualisme pemerintah dengan investor asing yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat.

Reforma agraria adalah kebijakan pemerintah yang sangat dinanti-nantikan aktualisasinya dalam rangka pembagunan berkelanjutan berdasarkan sector pertanian. Reforma agraria adalah penataan kembali (pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/ wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah menjadi tanah untuk penggarap. Istilah land reform dipakai untuk merujuk pada progam-progam sekitar redistribusi tanah dalam rangka menata ulang struktur kepemilikan tanah yang timpang agar menjadi lebih adil. Kebijakan landreform memiliki arti “penghapusan” segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur serta memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan konteks historis, kelahiran UUPA 1960 menjadi suatu landasan dasar peralihan sistem hukum tanah kolonial menjadi hukum agraria yang bersifat nasional. Pelaksanaan landreform yang didasarkan pada UUPA mengandung ketentuan yang terdiri dari :

1. Tanah pertanian adalah untuk petani penggarap

2. Hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah khusus untuk warga negara Indonesia tetapi warga negara asing dapat memperoleh tambahan untuk menyewa atau memakai tanah dalam jangka waktu dan luas tertentu yang diatur Undang-undang.

3. Pemilikan tanah absente tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan hal pengecualian lainnya.

4. Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya kuat.

Untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan suatu upaya reformasi di bidang pertanahan atau Landerform yang pada saat itu dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia (PPARI) yang meliputi 5 hal yaitu:

Pembaharuan hukum agraria melalui penyeragaman atau unifikasi yang berkonsep nasional dan memberikan kepastian hukum.

Penghapusan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah.

Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.

Perombakan kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dalam penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.

Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya serta penggunan yang terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuanya.

Dengan adanya PPARI ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan mengenai pertanahan. Akan tetapi dalam perkembanganya muncul berbagai masalah baru yang kurang begitu diakomodir di dalam UUPA itu sendiri. Seperti pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam hal ini hubungan pemerintah sebagai penguasa dan penilik modal (investor) dan rakyat.

Distorsi yang memungkinkan terbangunya hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dengan investor yang cenderung mengenyampingkan kepentigan rakyat dapat terindikasi dari tekat kekuasaan zaman orde baru yang mengedepankan sektor pembangunan ekonomi. Pada masa orde baru kebijakan pertanahan lebih di tujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi SDA. Pada era orde baru telah terjadi pergolakan orientasi terhadap pembangunan yang tadinya pada sektor pertanian kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi pada investasi asing dan juga eksploitasi SDA.

Hubungan Dengan Pertanahan

Munculnya undang-undang sektoral yang tidak taat dengan asas-asas yang terkandung dalam UUPA antara lain uu no 41 tahun 1999 tentang pokok pokok kehutanan di mana dalam peraturan ini para pengelolah hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang terkandung dalam UUPA. Serta pada uu no 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing yang tampak berbau kapitalisme lantaran lebih mengutamakan kepentingan investor asing sebagai pemilik modal ketimbang kepentingan rakyat, Kurangnya pengakuan kedudukan masyarakat adat sebagai pemilik tanah adat sehingga mereka sering menjadi korban pembebasan tanah dalam upaya mewujudkan pembangunan. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengurus sertifikat tanah di indonesia.

Berdasarkan data BPN dari 85 juta bidang tanah yang ada diidonesia, hanya sekitar 25 bidang tanah yang bersertifikat, selain itu sering muncul sertifikat ganda dalam sebidang tanah yang kerap menimbulkan sengketa, timbulnya konflik kewenangan dalam hal pengelolahan SDA antara pemerintah pusat dan daerah setelah munculnya Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.

Menurut Praktisi pertanahan Sumatra Utara, Ir. Benget Silitonga menilai praktik kapitalisme dan orientasi materialistis Pemerintah terhadap persoalan tanah sudah semakin besar sehingga jika ada lahan tidur (tidak digunakan) makan Pemda atau pemerintah setempat akan membuka peluang bagi investor asing untuk membuka lahan tersebut, tanpa memikirkan nasib rakyat dan amanat konstitusi.

Fenomena kapitalisme pemerintah kita dalam menilai tanah sudah pada orientasi uang, ketika ada investor yang mau membuka lahan, maka akan dijual tanpa memikirkan nasib rakyat, namun disatu sisi masyarakat ketika ditanyai sertifikat juga sulit untuk memperlihatkan.
Untuk itu dikatakannya perlu ada terobosan pendekatan jalan ketiga dengan mengajak mediasi, agar kedua belah pihak bisa sama-sama senang, dan agar tidak ada lagi korban jiwa dan sengketa terhadap tanah yang sejarah nya juga pasti diketahui oleh pemerintah.

Berdasarkan data dari BPN sepanjang tahun 2011 terdapat 14.337 sengketa pertanahan di seluruh wilayah indonesia dengan berbagai tingkatan. Sementara untuk wilayah sumatera utara dalam kurun waktu 2005 sampai 2011 tercatat ada 2.833 kasus sengketa lahan yang dilaporkan ke Poldasu, dari angka tersebut baru sekitar 484 kasus yang diselesaikan, itu disebabkan karena kasus tersebut dinilai bersinggungan dengan pidana seperti pemalsuan surat tanah. Dari 2.833 kasus meliputi 484 kasus penyerobotan lahaan, dan pemalsuan surat, 1.790 kasus penguasaan dan pemilikan tanah oleh pihak tertentu, Hak Guna Usaha (HGU), 392 kasus proses penetapan dan hak pendaftaran tanah, 53 kasus letak batas, luas dan bidang tanah yang diakui pihak lain, 19 kasus ganti rugi tanah tidak sesuai, dan 95 kasus pelaksanaan putusan Pengadilan (Perdata, PTUN, Pidana, Eksekusi).

Mengingat makin maraknya kasus sengkeeta tanah di negara ini yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat dan, masyarakat dengan pemerintah, memberikan gambaran bahwa UUPA yang sudah berlaku selama 52 tahun ini sudah tidak dapat menjawab perkembangan zaman, oleh sebab itu eksekutif dan, legislatif sebagai lembaga yang berwenang membuat undang undang untuk segera merevisi maupun memperbaharui UUPA, untuk kepeentingan semua pihak khususnya masyarakat agar mendapat kepastian hukum dan tidak lagi menjadi korban persengketaan tanah seperti yang terjadi pada kasus diBelitar dan, Mesuju yang sampai menelan korban jiwa.

Kesimpulan

Perbedaan sistem kapitalistis di zaman kolonial dan zaman modern adalah penerapan system kerja dan orientasi pada ekspor. Pada masa kolonial, kapitalisme dijalankan melalui kolonialisme dengan memanfaatkan sistem birokrasi lokal, sedangkan pada zaman modern (pada paruh awal abad ke 20) kapitalisme dijalankan melalui globalisasi. Kolonialisasi lebih banyak berorientasi pada aspek ekonomi yaitu eksploitasi hasil-hasil pertanian dari daerah-daerah koloni untuk pemenuhan industrialisasi Negara-negara Eropa.

Globalisasi berorientasi pada pasaran yang lebih luas dengan pola persaingan yang tidak seimbang antara Negara maju dan Negara berkembang, mencakup semua lini kehidupan seperti ekonomi, sosial, pertahanan, militer, budaya dan lain-lain. Sector pertanian juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang menghancurkan perekonomian rakyat secara perlahan-lahan. Pemerintah tidak dapat melindungi eksistensi produk pertanian secara berkelanjutan lokal dengan kebijakannya mengimpor hasil-hasil pertanian dari Luar Negeri.

Dipasar-pasar tradisional hingga pasar modern, buah-buahan dari luar negeri seperti pear Cina, apel Australia, anggur Amerika dan lain-lain dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan hasil pertanian dalam negeri seperti apel Malang, jeruk Bali ataupun mangga arumanis. Kehidupan para petani padi yang bekerja disawah seumur hidupnya, semakin terlilit dengan kebijakan impor beras yang mematikan harga beras pasaran dalam negeri. Biaya operasional yang dikeluarkan untuk pemeliharaan tanaman padi dari pembelian bibit, pemupukan, pentraktoran hingga tibanya masa panen tidak seimbang dengan harga beras pasaran yang ditawarkan pemerintah. Belum lagi tenaga dan waktu yang harus dikeluarkan selama proses pemeliharaan berlangsung. Ekspansi pasar modal dengan masuknya produk-produk pendukung pertanian dari Luar Negeri berupa pupuk untuk menyuburkan tanaman pertanian, memiliki harga jual yang tinggi untuk ukuran petani kecil.

Mekanisasi pertanian menggunakan traktor yang menggeser pola tradisional dengan memanfaatkan sapi sebagai tenaga pembajak sawah, merupakan biaya pokok operasional yang harus dikeluarkan petani untuk menggarap sawahnya. Perkebunan-perkebunan besar diluar Jawa yang menghasilkan tanaman industri berat seperti karet, kopi, kayu, kelapa sawit, kakau, nila dan lain-lain, sebagian besar sahamnya dikuasai oleh para elit Negara dan perusahaan-perusahaan asing.

Masyarakat pribumi hanya diberdayakan sebagai petani penyadap atau buruh-buruh perkebunan yang digaji oleh pihak perkebunan. Penguasaan lahan perkebunan di luar Jawa oleh para elit di Negara kita, juga disebabkan oleh mentalitas masyarakat Indonesia yang berpikir pragmatis untuk kepentingan sesaat. Mereka sangat mudah menjual tanah-tanah yang mereka miliki kepada para pemilik modal ataupun perusahaan-perusahaan besar tanpa memikirkan kepentingan jangka panjang untuk masa depan mereka.

Saran

Kemiskinan yang menjadi masalah yang terus dihadapi bangsa terutama terjadi pada masyarakat yang hidup di pedesaan. Kondisi kemiskinan saat ini Jumlah dan persentase penduduk miskin berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemiskinan pada masyarakat yang hidup di pedesaan disebabkan ketidakmampuan dalam mengakses lahan sebagai alat produksi karena penguasaan lahan saat ini dipegang oleh segelintir orang yang memiliki modal besar. Oleh karena itu, pemerintah haruslah tidak mengesampingkan masyarakat pedesaan dalam masalah agraria ini.



Posted by amatarpigO Share, Published at 09.26 and have 0 komentar

0 Comments

Thanks Telah Berkomentar