Pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional adalah mewujudkan ruang wilayah Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah yang berbatasan)
Rencana tata ruang wilayah harus memuat:
a. tujuan , kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang yang mencakup rencana sistem perkotaan dan rencana sistem jaringan prasarana utama (transportasi, energi dan kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air);
c. rencana pola ruang yang mencakup rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang berupa indikasi program utama jangka menengah lima tahunan (dengan memperhatikan kemampuan pendanaan pemangku kepentingan);
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang yag mencakup arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, indikasi arahan peraturan zonasi, serta arahan sanksi (administratif);
g. khusus untuk wilayah kota, rencana tata ruang juga harus memuat:
- rencana penyediaan ruang terbuka hijau;
- ruang terbuka nonhijau
- rencana penyediaan dan pemanfaatan jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana.
Contoh aplikasi :
1. Pembagian kewenangan secara tegas antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dapat dipahami bahwa pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional (mewujudkan ruang wilayah Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional) menuntut peran seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah di semua tingkatan. Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, UUPR menegaskan peran dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Penegasan kewenangan ini berarti pula penegasan tugas masing-masing tingkatan pemerintahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Penerapan dari ketentuan ini menyaratkan pemahaman pemangku kepentingan (termasuk pemerintah dan konsultan perencana ruang) terhadap tugas masing-masing. Dengan demikian pemerintah di berbagai tingkatan dapat fokus pada apa yang menjadi tugasnya serta tidak mencampuri substansi yang menjadi tugas pemerintah di atas/bawahnya. Namun demikian hal ini perlu diimbangi dengan keterbukaan sikap untuk menciptakan sinergi di antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga penyelenggaraan penataan ruang dapat mencapai hasil optimal.
2. Penegasan muatan rencana tata ruang
UUPR secara tegas mengatur muatan rencana tata ruang wilayah di semua tingkatan administrasi. Pengaturan muatan rencana tata ruang juga mencakup hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang, serta pemanfaatan rencana tata ruang untuk penyusunan RPJP, RPJM, program beserta pembiayaannya, serta sebagai landasan kegiatan pemanfaatan ruang sekaligus sebagai alat untuk melakukan pengendalian pemanfaatan ruang.
Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah yang berbatasan); Terkait dengan muatan rencana, UUPR mengatur bahwa rencana tata ruang wilayah harus memuat:
a. tujuan , kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang yang mencakup rencana sistem perkotaan dan rencana sistem jaringan prasarana utama (transportasi, energi dan kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air);
c. rencana pola ruang yang mencakup rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang berupa indikasi program utama jangka menengah lima tahunan (dengan memperhatikan kemampuan pendanaan pemangku kepentingan);
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang yag mencakup arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, indikasi arahan peraturan zonasi, serta arahan sanksi (administratif);
g. khusus untuk wilayah kota, rencana tata ruang juga harus memuat:
- rencana penyediaan ruang terbuka hijau;
- ruang terbuka nonhijau
- rencana penyediaan dan pemanfaatan jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana.
Deskripsi di atas menggambarkan betapa komprehensifnya sebuah rencana tata ruang wilayah harus disusun. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan para perencana untuk menghasilkan produk yang memenuhi ”spesifikasi” yang ditetapkan dalam UUPR. Apabila ”spesifikasi” tersebut dapat dipenuhi, kita dapat bersikap optimistik bahwa produk rencana tata ruang dapat berfungsi secara optimal sebagai acuan pembangunan nasional dan daerah. Pengalaman selama ini yang menunjukkan produk rencana tata ruang tidak berfungsi optimal mengindikasikan bahwa produk tersebut belum sepenuhnya memenuhi ”spesifikasi” produk yang ditetapkan dalam UUPR.
3. Sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK
Isu ini pada dasarnya masih terkait dengan isu pertama dan kedua yang disampaikan di atas. Meski demikian perlu ditegaskan bahwa UUPR mengatur agar muatan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK tidak saling tumpang tindih. Oleh karena itu, muatan rencana tata ruang wilayah sebagaimana disampaikan pada butir 2 di atas harus dikaitkan dengan pembagian kewenangan sebagaimana disampaikan pada butir 1. Penegasan sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK dimaksudkan agar ketiga produk rencana tersebut bersifat saling melengkapi, sehingga apabila ”disatukan” akan membentuk rencana tata ruang yang serasi dan selaras antar tingkatan wilayah administrasi. Untuk itu hal yang harus diperhatikan adalah: substansi yang telah diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi tidak diatur berbeda dalam rencana tata ruang wilayah administrasi di bawahnya. Dengan kata lain,substansi yang telah diatur dalam RTRWN harus diacu dalam RTRWP. Sementara substansi yang telah diatur dalam RTRWN dan RTRWP harus diacu dalam RTRWK. Penerapan dari ketentuan ini diperkirakan akan menghadapi kendala manakala substansi yang diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi tidak sejalan dengan aspirasi wilayah administrasi yang lebih rendah. Untuk itu, komunikasi yang intensif antartingkatan pemerintahan dalam proses penyusunan rencana tata ruang merupakan tantangan yang harus dihadapi secara efektif.
4. Penerapan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan penataan ruang
UUPR menekankan pentingnya penerapan standar pelayanan minimal (SPM) dalampenyelenggaraan penataan ruang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pemerintah daerah dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kewenangannya dengan baik, di samping untuk menjamin hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Tantangan ke depan dari ketentuan mengenai SPM dalam bidang penataan ruang adalah menyusun SPM dan indikator pencapaiannya, menyosialisasikan kepada pemerintah daerah, serta melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam menerapkan SPM yang telah ditetapkan. Tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah merumuskan mekanisme pengambilalihan kewenangan pemerintah daerah yang tidak mampu menerapkan SPM yang telah ditetapkan.
5. Perhatian yang lebih besar terhadap kelestarian lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup yang tidak kunjung membaik selama penerapan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang telah mendorong kesadaran akan pentingnya pengaturan aspek lingkungan hidup dalam UUPR yang baru. Disamping perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana telah disampaikan di atas, beberapa ketentuan dalam UUPR yang terkait dengan lingkungan hidup, antara lain, adalah:
a. ketentuan agar alokasi kawasan hutan dalam satu daerah aliran sungai (DAS) sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS dengan distribusi disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS;
b. ketentuan agar alokasi ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan sekurangkurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas kawasan perkotaan, di mana 2/3nya adalah RTH publik dengan distribusi disesuaikan dengan sebaran penduduk.
Tantangan dari penerapan ketentuan ini adalah:
a. kemungkinan penurunan luas kawasan hutan dan RTH dalam satu wilayah administrasi yang memiliki kawasan hutan dan/atau RTH lebih dari 30% (tigapuluh persen) sebagaimana disyaratkan dalam UUPR;
b. pendistribusian kawasan hutan dalam satu DAS yang disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS dapat berujung pada konsentrasi kawasan hutan di wilayah hulu; dipandang tidak menguntungkan daerah yang berlokasi di wilayah hulu:
- membutuhkan mekanisme insentif-disinsentif dan mekanisme subsidi silang yang tepat agar daerah yang berlokasi di wilayah hulu tidak dirugikan akibat kehilangan peluang pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki;
- membutuhkan koordinasi yang sangat baik agar seluruh daerah administrasi menyepakati distribusi kawasan hutan dalam satu DAS.
6. Keterkaitan antara rencana tata ruang dengan program pembangunan
Sebagaimana disampaikan di atas, rencana tata ruang wilayah disusun dengan memperhatikan RPJP dan RPJM yang ada. Selain itu rencana tata ruang wilayah juga memuat indikasi program utama jangka menengah lima tahunan yang mejadi pedoman pemangku kepentingan dalam menyusun program sektoral beserta pembiayaannya. Ketentuan ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara rencana tata ruang dengan program pembangunan sektoral dan wilayah.
Keterkaitan ini dipertegas dalam ketentuan mengenai kewajiban masyarakat, di mana dalam memanfaatkan ruang masyarakat diwajibkan untuk menaati rencana tata ruang yang berlaku. Selain itu terdapat larangan bagi pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Ketentuan tersebut memiliki konsekuensi berupa sanksi pidana (penjara dan denda) serta sanksi administratif yang tidak ringan. Terkait dengan hal tersebut di atas, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana
menyusun rencana tata ruang wilayah yang berkualitas, terutama dalam memahami peluang dan tantangan pengembangan wilayah, mendefinisikan arah perkembangan wilayah yang akan dituju, serta merumuskan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan yang rasional. Dapat dipahami bahwa menyusun indikasi program pembangunan untuk jangka waktu yang panjang (20 tahun sesuai dengan masa berlaku rencana) bukan merupakan hal yang mudah.
7. Penegasan mengenai hak masyarakat
Sejalan dengan semakin meningkatnya demokratisasi di Indonesia, hak masyarakat merupakan obyek pengaturan yang mendapat perhatian cukup besar dalam UUPR. Hak-hak masyarakat yang diatur dalam UUPR perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan para perencana dalam menyusun dan mengimplementasikan rencana tata ruang. Hak-hak masyarakat tersebut adalah;
a. hak untuk mengetahui rencana tata ruang
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c. menerima penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Dengan adanya hak-hak tersebut di atas, pemerintah dan perencana tata ruang dituntut untuk menyusun sebuah rencana tata ruang yang berkualitas, yang penerapannya tidak menimbulkan kerugian masyarakat. Bila tidak, pemerintah akan menghadapi banyak tuntutan dari masyarakat yang mengalami kerugian akibat pelaksanaan pembangunan, meski pelaksanaan pembangunan tersebut telah sesuai dengan rencana tata ruang.
8. Penegasan kewajiban dan larangan serta ketentuan sanksi
UUPR secara tegas mengatur kewajiban masyarakat sebagai berikut:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagia milik umum.
Selain itu UUPR juga melarang pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan tersebut di atas memiliki konsekuensi berupa ancaman pidana penjara dan denda di samping sanksi administratif. Tantangan dalam penerapan ketentuan tersebut di atas adalah dalam penegakan hukum, mengingat selama ini masyarakat telah ”terbiasa” dengan kasus pelanggaran rencana tata ruang tanpa konsekuensi sanksi apa pun. Di sisi lain, para pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang cenderung untuk ”menahan diri” dalam menerbitkan izin yang dapat berdampak pada penurunan investasi. Untuk itu diperlukan upaya penyadaran seluruh pemangku kepentingan mengenai pentingnya penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
9. Batas waktu penyesuaian rencana tata ruang dengan ketentuan UUPR
Sehubungan dengan perubahan ketentuan terkait dengan rencana tata ruang, UUPR mengatur batas waktu penyesuaian rencana tata ruang sebagai berikut:
a. RTRWN harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu satu setengah tahun sejak pemberlakuan UUPR;
b. RTRWP harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu 2 (dua) tahun sejak pemberlakuan UUPR;
c. RTRWK harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak pemberlakuan UUPR;
Waktu penyesuaian yang sangat terbatas tersebut di atas tentu merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dan para perencana ruang. Apalagi apabila dikaitkan dengan ketentuan bahwa rencana tata ruang wilayah harus mengacu pada rencana tata ruang di atasnya. Artinya, penyesuaian RTRWP harus menunggu selesainya proses penyesuaian RTRWN dan penyesuaian RTRWK harus menunggu proses penyesuaian RTRWP.
Posted by 01.32 and have
0
komentar
, Published at
0 Comments